.

Sejarah pupuk kimia di Indonesia dan akibatnya bagi ekosistem

            Pupuk kimia mulai diperkenalkan pada awal tahun 70-an, untuk meningkatkan hasil pertanian yang sebelumnya hanya melakukan pemupukan secara tradisional.  Pada awalnya tidak banyak petani yang langsung percaya.  Akan tetapi setelah diedukasi melalui penyuluhan-penyuluhan, bimbingan masyarakat, dan terbukti peningkatan yang signifikan, maka berbondong-bondong petani mulai mengaplikasikan pupuk kimia, hingga akhirnya diterapkan hampir di seluruh pelosok nusantara.
            Beberapa tahun pertama memang peningkatan panen sangat terasa manfaatnya. Program modernisasi pertanian mampu menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang kian hari terus meningkat.  Namun setelah belasan tahun penerapan pupuk kimia, penggunaan pupuk kimia mulai terlihat dampak dan efek sampingnya.  Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian seperti pupuk dan pestisida telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu.  Di samping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisiensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.
            Pupuk kimia yang sebelumnya berhasil meningkatkan produksi pertanian mulai menunjukkan penurunan hasil. Untuk mengembalikan produktivitas, petani mulai menambah dosis pupuk kimianya sehingga lama kelamaan biaya operasional jadi meningkat, dan keuntungan petani semakin merosot. Dari tahun ke tahun hasil produksi menyusut bahkan kini di beberapa daerah hasil pertanian sudah lebih rendah daripada sebelum menggunakan pupuk kimia saat beberapa puluh tahun lalu.
            Dunia barat sebagai penggagas pertanian modern sudah lama menyadari dampak yang ditimbulkan dari penggunaan bahan-bahan kimia sintetis dalam dunia pertanian. Kini mereka sudah beralih kepada sistem pertanian tanpa bahan kimia sintetis / yang dikenal dengan pertanian organik.  Sistem ini diyakini tidak menurunkan kemampuan dan kualitas produksi.  Justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu terjadi peningkatan secara signifikan jumlah produksi dan kualitas produk.  Didukung oleh tren gaya hidup 'back to nature' yang semakin populer, membuat produk pertanian organik sangat diminati masyarakat setempat. Konon, kenapa ekspor pertanian kita ditolak, salah satunya adalah karena residu zat kimia yang tinggi dalam produk pertanian kita.